Pendahuluan
Berbicara mengenai pernikahan pada dewasa ini tidak asing lagi
sebab berita-berita di TV, radio bahkan di media cetak sangat
menggetarkan. Banyak kasus yang di bahas
di berita mengenai pernikahan. Baik itu
pernikahan secara Kristen maupun non-kristen.
Dengan ini kami menggambarkan bahwa setiap orang di dunia ini memiliki
perspektif mengenai tujuan pernikahan yang sangat beraneka ragam.
Para penganut agama Islam mengatakan bahwa tujuan pernikahan
adalah untuk Memenuhi tuntutan Naluri Manusia yang Asasi.[1] Menurut pemahaman mereka pernikahan adalah
fitrah manusia, maka jalan yang sah untuk memenuhi kebutuhan ini adalah dengan
‘aqad nikah (melalui jenjang pernikahan), bukan dengan cara yang amat kotor dan
menjijikkan, seperti cara-cara orang sekarang ini; dengan berpacaran, kumpul
kebo, melacur, berzina, lesbi, homo, dan lain sebagainya yang telah menyimpang
dan diharamkan oleh Islam. Dan tujuan
pernikahan menurut mereka yang kedua adalah untuk Membentengi Akhlaq yang Luhur
dan untuk Menundukkan Pandangan.[2]
Sasaran utama dari disyari’atkannya pernikahan dalam Islam di antaranya
adalah untuk membentengi martabat manusia dari perbuatan kotor dan keji, yang
dapat merendahkan dan merusak martabat manusia yang luhur. Islam memandang pernikahan dan pembentukan
keluarga sebagai sarana efektif untuk memelihara pemuda dan pemudi dari
kerusakan, dan melindungi masyarakat dari kekacauan.
Oleh sebab itu pada kesempatan yang berbahagia ini penulis akan
mengevaluasi tujuan pernikahan dari perspektif Alkitabia serta manajemen
konflik sehingga kami sebagai orang yang percaya kepada Yesus Kristus memiliki
pandangan tentang tujuan pernikahan yang benar sesuai dengan apa yang Allah
sudah tetapkan.
Tujuan Pernikahan Kristen dan Manajemen Konflik dalam Pernikahan
Latar Belakang Masalah Dalam Pernikahan Kristen
Apa tujuan dari pernikahan Kristen? Untuk maksud apa orang Kristen
menikah dan berkeluarga? Pertanyaan yang sering kita dengar ini sudah coba
dijawab, baik melalui konseling pranikah, ceramah-ceramah, maupun seminar-seminar. Bahkan hampir setiap buku tentang pernikahan
dan keluarga Kristen selalu dimulai dengan membahas pertanyaan ini. Meskipun demikian selalu saja pertanyaan ini
ditanyakan. Rupanya keragu-raguan tak
dapat disingkirkan dari dalam hati banyak orang karena mungkin realitanya
mereka sendiri menjalani kehidupan pernikahan dan keluarga yang sekali-kali
tidak berbeda dari orang-orang non-Kristen.
Yaitu kehidupan pernikahan dan keluarga "yang alami/natural"
di mana orang bertemu, saling mencinta, membuat tekad bersama, meresmikan
ikatan mereka, hidup bersama, bekerja mengumpulkan uang dan harta benda (untuk
dinikmati bersama sampai hari tua), melahirkan anak-anak, mendidik,
membesarkan, dan mempersiapkan mereka untuk kehidupan yang mandiri dan bahagia. Yah suatu kehidupan dengan tujuan
kebahagiaan.
Inilah tujuan dari pernikahan dan keluarga "yang alami"
yang memang secara praktis sudah coba dijalani oleh hampir setiap orang,
termasuk umat Kristiani. Tidak heran
jikalau pergumulan mereka dalam pernikahan dan keluarga seringkali hanyalah
untuk mengatasi dan menyelesaikan hambatan-hambatan dalam proses pernikahan dan
keluarga mereka yang “alami” tersebut.
Sulit bagi mereka untuk mengerti dan mempercayai mereka , dari
perspektif iman kristen , usaha mereka untuk membentuk pernikahan dan membangun
keluarga yang bahagia adalah suatu kesia-siaan jikalau itu semata-mata
manifestasi proses alami, tanpa tujuan seperti yang telah ditetapkan oleh
Allah.
Pernikahan dan keluarga Kristen mempunyai tujuan yang jelas karena
memang untuk maksud itulah Allah menciptakan lembaga pernikahan. Bahkan Allah menetapkan bahwa lembaga
pernikahan dan keluarga menjadi pusat kehidupan manusia seutunya.
Maka kami bisa simpulkan bahwa yang menjadi latar belakang
permasalahan di dalam pernikahan kristen adalah bahwa ketika kedua pasangan
kurang memahami pernikahan dari perspektif Allah. Mereka hanya mengerti tujuan pernikahan dari
perspektif sekuler sehingga sering terjadi ketidak harmonisan didalam keluarga.
Dan juga kurangnya pembinaan mengenai pernikahan Kristen sebelum
masuk di dalam hubungan yang intim. Hal
ini bisa disebabkan oleh kurangnya perhatian dari pihak keluarga secara khusus
orang tua[3]. Kurangnya pembekalan
mengenai pernikahan Kristen. Bahkan juga
karena kurang ada perhatian dari para pemimpin rohani. Mungkin di dalam gereja para pemimpin rohani
mengabaikan pengajaran mengenai pernikahan.
Dan mereka lebih condong kepada pengejaran mengenai berkat dan
berkat. Sehingga para calon suami dan
istri bahkan orang-orang yang ada di dalam gereja tersebut mencari informasi
tentang pernikahan di luar gereja.
Sehingga ada yang dari mereka mempelajarinya dari sahabat yang tidak
beriman. Ada juga yang belajar dari
situs-situs online yang tidak terkontrol.
Oleh sebab itu sangatlah penting untuk memberi pengajaran yang
Alkitabiah kepada jemaat Tuhan.
Konflik Dalam Pernikahan Kristen
Dalam sebuah survei yang dilakukan terhadap pasangan-pasangan yang
hendak menikah, jawaban mereka tentang tujuan pernikahan ternyata
bermacam-macam diantaranya; sebagian tujuan menikah karena ingin mempunyai
keturunan[4], ingin mendapat kebahagian, ingin diperhatikan, ingin mendapatkan
kepuasan seksual dll. Menikah dengan
tujuan diatas tentunya sangat berbahaya karena mungkin saja apa yang diinginkan
tidak tercapai dan kalau tidak tercapai bagaimana? Hal ini akan menimbulkan problem dalam rumah
tangga. Secara umum pasangan yang akan
menikah berharap pernikahannya akan bahagia dan sesungguhnya harapan itu
tidaklah salah, hanya saja bagaimana memperoleh kebahagiaan itu ?
Cara pandang mengenai pernikahan sangat mempengaruhi kehidupan
keluarga. Jika seorang memandang
pernikahan sebagai objek seksual maka ia akan lebih kepada kepuasan seksual,
dan jika seorang memandang pernikahan sebagai langkah awal untuk menghasilkan
keturunan maka ia akan berusaha sampai mendapatkan anak. Pertanyaannya “jika ia tidak mencapainya? Maka apa yang akan terjadi? Inilah masalah
yang dihadapi dewasa ini.
Ada orang yang selingkuh karena keinginannya tidak
tercapai[5]. Misalnya alasan tidak
mendapat anak . Sebab ia menganggap
bahwa tujuan menikah adalah untuk mendapatkan keturunan Sehingga orang yang bersangkutan akan
memiliki pasangan “simpanan” sampai istri itu hamil lalu ia mulai bercerai
dengan istri lamanya, sehingga mulai terjadi konflik dalam keluarga yang
sudah nikah.
Ada juga orang yang bercerai karena kurang sejahtera di dalam
rumah tangga. Orang-orang seperti ini
adalah mereka yang memiliki perspektif pernikahan dari aspek perekonomian. Mereka menganggap bahwa ketika nikah pasti kebutuhan
dalam perekonomian tercapai secara maksimal.
Tetapi ketika mereka melihat fenomena yang begitu bertentangan dengan
apa yang mereka inginkan sebelumnya sehingga terjadi problema dalam
keluarga. Jadi dari sini kami bisa
menyimpulkan bahwa cara pandang seseorang terhadap sesuatu akan menentukan
tindakannya. Jika seorang memandang
pernikahan dari perspektif dunia maka ia akan bertindak seperti apa yang dunia
praktekkan mengenai nikah, tetapi sebaliknya jika seorang memandang pernikahan
dari perspektif Allah maka ia akan bertindak sesuai dengan apa yang Allah sudah
tetapkan sebelumnya mengenai pernikahan.
Oleh sebab itu sangat penting bahwa setiap orang yang percaya kepada
Kristus perlu mengetahui tujuan pernikahan dari perspektif Allah.
Tujuan pernikahan Kristen
Karena itu tujuan pernikahan Kristen bukanlah sekedar mendapatkan
keturunan[6]. kebahagiaan tetapi tujuan pernikahan Kristen yang benar adalah
pertumbuhan (growth). Ketika masing-masing pasangan bertumbuh maka akibatnya
adalah kebahagiaan. Jadi kebahagiaan
merupakan akibat dari sebuah pertumbuhan dalam rumah tangga. Mengutip pernyataan Pdt. Julianto “ syarat
untuk bertumbuh adalah: pertama
masing-masing sudah menerima pengampunan dari Kristus, sehingga
masing-masing mampu saling mengampuni, kedua adaptability, artinya
masing-masing tidak memaksa atau menuntut pasangannya, sebaliknya saling
memahami dan memberi sebab identitas manusia ditetapkan sedemikian tinggi,
hormat dan mulia, karena diciptakan mirip Allah.[7]
Disisi lain tujuan pernikahan Kristen secara teologis adalah
sebuah lembaga yang dirancang Allah dalam memultiplikaskan atau melipat gandakan gambar diri-Nya lewat
keturunan manusia.[8] Sebagaimana Allah
menciptakan manusia segambar dengan diri-Nya, Maka keturunan manusia tersebut
adalah representasi gambar Allah. Dengan
menyadari akan hal ini maka kelak ketika pasangan-pasangan sudah menikah akan
menghargai arti sebuah anak dalam keluarga dan berusaha mendidik dengan benar
dan bertanggung jawab.
Manajemen Konfli
1. Pencegahan selalu lebih baik daripada pemulihan
Caranya? Dengan memahami kebutuhan dasar pasangan. Seorang suami
atau pria memiliki satu kebutuhan dasar, yaitu ingin merasa dihormati[9].
Sedangkan, istri ingin merasa dikasihi. Apabila kebutuhan masing-masing ini
terpenuhi, maka baik suami maupun istri akan merasa bahagia. Dua prinsip ini sesuai dengan ayat Alkitab,
yakni:
Kolose 3:19, “Dan para suami, hendaklah Saudara mengasihi istri
dan bersikap baik kepadanya serta janganlah berlaku kasar terhadap dia.” (FAYH)
1 Petrus 3:1, “PARA istri, sesuaikanlah diri dengan
rencana-rencana suami Saudara; sebab sekalipun pada mulanya mereka tidak mau
mendengar Saudara berbicara tentang Tuhan, kemudian mereka akan ditundukkan
oleh kelakuan Saudara yang patut dihargai dan tidak bercela. Kehidupan yang
saleh jauh lebih besar pengaruhnya terhadap mereka daripada kata-kata.” (FAYH)
Efesus 5:33, “Jadi, sekali lagi saya katakan, seorang laki-laki
harus mengasihi istrinya seperti dirinya sendiri; dan istri harus menghargai
suaminya, mematuhi serta menghormatinya.” (FAYH)
Apabila tiap-tiap kebutuhan tersebut tidak terpenuhi, pasangan
mungkin akan bereaksi secara negatif. Dr. Emerson Eggerichs mengatakan,
pasangan akan membentuk satu pola yang disebut dengan The Crazy Cycle atau
“Siklus Kegilaan”.
Di saat pasangan tidak mendapatkan kebutuhan yang diinginkannya,
ia akan merasa terluka, frustrasi, merasa tak dikasihi dan tak
dihormati[10]. Pertanyaan yang sering
kaum wanita ajukan adalah, apakah pasanganku mengasihiku seperti aku mengasihi
dia? Jika jawabannya tidak, wanita cenderung ingin mengubah pasangannya dengan
cara mengeluh dan mengkritik agar pasangannya lebih bisa mengasihi. Namun, cara
itu pasti gagal karena saat pria mendengar kritik tajam dan sikap menentang,
maka ia akan menganggapnya sebagai penghinaan, lalu hal itu memunculkan
perasaan tidak dihormati.
Sebaliknya, pria cenderung bertanya, apakah aku dihargai? Jika
tidak, maka pria mengambil tindakan mendiamkan dengan tujuan agar wanita
berubah. Sekali lagi, itu juga pasti gagal karena sikap ini membuat wanita
merasa tidak dikasihi.
Akhirnya, tanpa kasih, wanita bereaksi tidak hormat; dan tanpa
hormat, pria bereaksi tidak mengasihi.
Pertanyaannya, sejauh mana kita menyadari pola the crazy cycle
mendasari konflik di dalam kehidupan rumah tangga? Apakah kita mengasihi dan
menghormati pasangan? Apakah kita pun merasa dihormati dan dikasihi oleh
pasangan? Untuk bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan itu, maka perlu adanya
kesediaan untuk melihat ke dalam pola lingkaran tersebut dan belajar mengungkapkan
perasaan terhadap pasangan.
Kunci untuk mengatasi the crazy cycle ada pada Efesus 5:22-33.
Melalui tulisannya, Paulus sangat tegas menyatakan agar suami
mengasihi istri, serta istri harus menghormati suami. Jika setiap suami-isteri
Kristen memberlakukan prinsip ini ke dalam rumah tangganya, dapat dipastikan
bahwa tak ada suami yang menindas istri, tidak ada istri yang tak menghormati
suami, karena mereka saling memperlakukan dengan penuh kasih sayang dan
penghormatan.
Mengerti kebutuhan mendasar pasangan—kasih & hormat—dapat
menolong suami-istri keluar dari zona the crazy circle. Agar dapat memahami
kebutuhan mendasar ini, suami dan istri dapat mengajukan pernyataan ini kepada
pasangan:
“Aku merasa dikasihi/dihormati jika kamu …” dan
“Aku mau mengasihi/menghormati kamu dengan …
2. Bersedia mengakui kesalahan tanpa harus menyalahkan
Reaksi beberapa pasangan terhadap beberapa perubahan-perubahan
yang terjadi dalam pernikahan adalah menciptakan jarak; pisah ranjang atau
cerai[11]. Oleh sebab itu jika ada
masalah oleh karena terjadi perubahan dalam pernikahan maka jangan mengatakan,
“Aku akui tadi aku memang salah, tetapi aku tidak akan begitu kalau kamu tidak
seperti itu,” atau “Iya, aku yang salah, tapi kamu juga salah…” Dalam hal ini,
sebaiknya kata tetapi dihilangkan. Belajarlah untuk mengakui kesalahan kepada
pasangan secara tulus.
3. Saling mengizinkan untuk berbicara secara bebas dan
mendengarkan dengan sikap yang terbuka tanpa membela diri (active listening)
Belajar untuk menciptakan suasana yang penuh pengalaman positif,
yaitu pasangan dengan bebas mengungkapkan perasaan serta pikirannya. Misalnya,
“Saya sangat senang kalau saya bercerita, kamu mendengarkan saya,” atau “Saya
merasa khawatir kalau kamu tidak memberi saya kabar.”
4. pecahkan masalah pada waktu dan tempat yang tepat
Usahakan secara teratur merencanakan waktu dan tempat bersama
pasangan untuk membicarakan masalah berdua karena kesembuhan tidak datang dari
luar, tetapi datang dari dalam diri seseorang yang telah dilukainya.[12] Jangan terburu-buru dalam pemecahan masalah,
carilah waktu yang tepat untuk membicarakannya.
5. Saling mengerti; jangan saling menghakimi
Tujuan pasangan adalah mengatasi konflik, bukan adu argumentasi
yang dapat menyerang pasangan. Perilaku, tuduhan, kata-kata yang kasar, tidak
sopan dan menyerang secara pribadi merupakan cara-cara yang tidak bisa
dibenarkan dalam konflik dan yang menghancurkan pernikahan atau relasi!
Bersikaplah rendah hati dan bersedia untuk mengampuni (lih. Efesus 4:31-32).
6. Menetapkan prinsip time out
Isteri Anda adalah karunia Allah untuk Anda.[13] Di dalam membicarakan masalah, pasangan
saling mengizinkan untuk meminta time out (waktu sejenak) jikalau tidak siap
untuk menyelesaikan pembicaraan saat itu.
Pihak yang meminta time out harus mengatakan kapan pembicaraan diteruskan.
7. Jika tidak bisa menemukan solusi dari konflik, carilah
pertolongan
Carilah seseorang yang Anda berdua hormati dan Anda dapat
menemukan jalan keluar. Tentunya cari
orang yang memang bisa dipercayai dan bertanggung jawab dalam masalah
tersebut. Bisa itu dia seorang gembala
sidang di gereja atau staf dan sebagainya, yang penting orang tersebut bisa
mengarahkan kedua pasangan kepada jalan yang benar.
Akhirnya, mengatasi konflik adalah keterampilan yang membutuhkan
waktu serta latihan untuk melakukannya. “However, each one of you also must
love his wife as he loves himself, and the wife must respect her husband.”
(lihat Efesus 5:33, New International Version).
Kesimpulan
Cara pandang seseorang mengenai sesuatu objek akan mempengaruhi
tindakan dan sikapnya terhadap objek tersebut.
Jadi jika seorang memandang pernikahan sebagai objek seksual, maka ia
akan memperlakukan pasangannya hanya untuk memuaskan keinginan seksual nya. Dan jika seorang memandang pernikahan adalah
suatu lembaga yang ditetapkan oleh Allah sehingga melaluinya akan menggenapi
rencana-Nya, maka orang tersebut akan memperlakukan pasangannya berdasarkan
kasih yang bersumber dari Allah, yaitu kasih agape.
Kurangnya pengetahuan mengenai pernikahan kristen adalah salah
satu penyebab konflik di dalam pernikahan kristen. Maka itu para calon pengantin diharapkan
untuk terlebih dahulu membekali dirinya dengan pengetahuan tentang pernikahan
Kristen yang benar, sehingga ketika masuk dalam pernikahan kudus maka kedua
pasangan tersebut bisa mengatur rumah tangganya secara maksimal.
Maksimal kedua pasangan sebelum menikah harus mengerti tujuan
pernikahan kristen, yaitu untuk bertumbuh.
Bertumbuh bisa secara spiritual maupun intelektual. Dan tujuan pernikahan Kristen secara teologis
adalah sebuah lembaga yang dirancang Allah dalam memultiplikaskan atau melipat gandakan gambarmdiri-Nya lewat
keturunan manusia. Jadi pernikahan
adalah bagian dari rencana Allah yang mulia yang harus dihormati. Sebab untuk melakukan perintah Allah di
dalammkejadian 1:28 “Allah memberkati mereka, lalu Allah berfirman kepada
mereka: "Beranakcuculah dan bertambah banyak; penuhilah bumi dan
taklukkanlah itu, berkuasalah atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara
dan atas segala binatang yang merayap di bumi." Semestinya harus melalui satu fase yang sangat
sakral yaitu pernikahan.
Penutup
Di akhir dari refleksi tentang tujuan pernikahan Kristen dan
manajemen konflik ini, dihimbau kepada para calon pengantin bahkan yang
sudah nikah agar jangan lupa melibatkan Tuhan di dalam segala perencanaan
keluarga sebab yang mencetuskan lembaga pernikahan adalah Allah, dan Dia
jugalah yang memiliki rencana yang ilahi di dalam setiap pernikahan.
Daftar Pustaka
Artikel on-line. Diambil
dari http://almanhaj.or.id/content/3232/slash/0/tujuan-pernikahan-dalam-islam/;
Internet; diakses 18 Agustus 2014.
Chapman, Gary. The Five Love Laguages of Teenagers “Lima Bahasa
kasih untuk Remaja.” Batam: Interaksara, 2003.
Then, Debbie . Jika Suami Anda Berselingku. Jakarta: BPK Gunung
Mulia, 2002.
Munroe, Myles. The Purpose and power of Loe & Marriage.
Jakarta: Imanuel, 2011.
Tong, Stephen PDT. DR. Keluarga Bahagia “seri mimbar reformed
Injili Indonesia.” Jakarta: Lembaga Reformed Indonesia, 1995.
Geisler, Norman L. Etika Kristen “pilihan dan isu Kotemporer” Edisi
kedua. Malang: SAAT, 2010.
Hopson, Darlene powell. menuju kelauarga kompak “8 prinsip praktis
menjadi orang tua yang sukses” Bandung: Kaifa, 2002.
Romance, MRS. Mengapa Orang
Jatuh Cinta (Batam: Interaksara, 1986)
Wright, H. Norman. So You’re Getting Married “Persiapan
pernikahan” Yogyakarta: Yayasan Gloria, 1998.
Christenson, Nordis. Pasangan Kristen. Surabaya: Citra pustaka,
1977.
Rosberg, Barbara. Lima Kebutuhan Wanita yang perlu dipahami oleh
setiap pria. Jakarta: Indo Gracia, 2001.
Catatan Kaki
[1] [Artikel on-line];
diambil dari
http://almanhaj.or.id/content/3232/slash/0/tujuan-pernikahan-dalam-islam/;
Internet; diakses 18 Agustus 2014.
[2] Ibid 1.,
[3] Gary Chapman, The Five
Love Laguages of Teenagers “Lima Bahasa kasih untuk Remaja” (Batam:
Interaksara, 2003), 60.
[4] Ibid., 2.
[5] Debbie Then Jika Suami
Anda Berselingku (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2002), 3.
[6] Myles Munroe The
Purpose and power of Loe & Marriage (Jakarta: Imanuel, 2011), 17.
[7] PDT. DR. Stephen Tong
Keluarga Bahagia “seri mimbar reformed Injili Indonesia” (Jakarta: Lembaga
Reformed Indonesia, 1995) 12.
[8] Norman L. Geisler,
Etika Kristen “pilihan dan isu Kontemporer” Edisi kedua (Malang: SAAT, 2010),
355.
[9] Darlene powell Hopson,
Ph. D. & Derek S. Hopson, Ph.D. menuju kelauarga kompak “8 prinsip praktis
menjadi orang tua yang sukses” (Bandung: Kaifa, 2002) 115.
[10] MRS. Romance, Mengapa
Orang Jatuh Cinta (Batam: Interaksara, 1986) 60.
[11] H. Norman Wright, So
You’re Getting Married “Persiapan pernikahan” (Yogyakarta: Yayasan Gloria,
1998) 64.
[12] Larry & Nordis
Christenson, Pasangan Kristen (Surabaya: Citra pustaka, 1977) 53.
[13] DR. Gary & Barbara
Rosberg, Lima Kebutuhan Wanita yang perlu dipahami oleh setiap pria (Jakarta:
Indo Gracia, 2001) 20.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar