Persetubuhan pertama yang disertai dengan perasaan
berdosa ini biasanya sangat mengecewakan. Mungkin mereka melakukannya dengan
tidak bebas, takut dilihat orang, dan disertai dengan rasa bersalah.
Semestinya hubungan seks itu dilakukan dengan santai
untuk dinikmati, karena seks adalah ciptaan Allah yang harus dilakukan dengan
kesucian dan kemurnian hati.
Ada 2 akibat dari dosa tersebut, yaitu:
A. Akibat Langsung bagi si Gadis
Peristiwa pertama disertai dengan rasa sakit, bukan
hanya takut, cemas, atau rasa berdosa. Bagi seorang istri yang ingin
sungguh-sungguh menikmati seks, biasanya ada waktu untuk penyesuaian. Si Gadis
yang kini sudah tidak perawan lagi itu pulang dengan rasa takut, cemas, mungkin
menangis dan mulai membenci pacarnya. Sebelumnya, pacarnya dianggap sebagai
pria idamannya, namun sekarang semua telah berubah. Gambaran di atas
menggambarkan perubahan perasaannya. Sebelum dosa persetubuhan dilakukan, ia
sangat mencintai pacarnya – meskipun sebagian besar dengan cinta eros. Setelah
perbuatan dosa itu, cintanya berkurang – bahkan mulai membenci – atau menjadi
lebih banyak bencinya daripada cinta yang semula.
Apa yang digambarkan di novel-novel murahan dan tidak
realistis itu justru menceritakan cintanya pada pacarnya akan menjadi
menggebu-gebu. Perubahan ini juga bisa dialami oleh pria. Alkitab sebagai buku
yang realistis menggambarkan hal ini juga (tidak berarti si Pria meninggalkan
si Gadis karena muak dan benci, karena hal itu mutlak akan terjadi). Ada di
dalam kitab 2 Samuel 13:1-17.
B. Akibat Jangka Panjang
Ada dua kemungkinan kelanjutan dari perbuatan dosa
itu, yaitu:
1. Hubungan mereka putus.
Karena kehilangan penghargaan dan timbul kebencian
terhadap pacar, kemungkinan hubungan mereka akan putus. Kemungkinan ini lebih
besar lagi apabila mereka masih remaja. Lalu, jika hubungan itu putus, siapa
yang akan rugi besar? Tentunya si Gadis. Dan si Pria merasa untung, pergi
tertawa dan bersiul-siul mencari teman baru. Kalaupun ia menyesal dan tidak
tertawa-tawa, tidak ada ‘bekas’ padanya secara fisik yang merugikan hubungannya
dengan teman wanitanya yang lain.
2. Hubungan yang dilanjutkan sampai menikah.
Perbuatan dosa pada masa lalu ini akan sangat
merugikan si Gadis dan hubungannya dengan pria lain di masa nanti. Maka
timbullah pertanyaan, “Apakah ia harus memberitahu kepada calon suaminya?”
Memang pada abad ke-20 ini, pria-pria kita masih mengikuti standar ganda
masyarakat. Harga diri pria memang rapuh, mudah retak. Ia perlu yang terbaik.
Pikirannya kelak akan dihantui bahwa istrinya ‘bekas’ orang lain. Memang agak
kekanak-kanakkan, tapi banyak pria yang tidak dapat melupakan hal itu.
Sungguh-sungguh memerlukan seorang yang benar-benar
dewasa kepribadiannya untuk mengatasi shock dan kecewanya. Perlu juga pria yang
rela mengampuni dan dapat melupakan masa lalu tunangannya. Jika sang Pria,
tidak dengan kedewasaan Kristus, menerima si gadis ‘bekas’ namun tetap
memaksakan diri untuk menikahinya (entah karena ia cantik, kaya, penting untuk
karirnya, atau gengsi – ‘Bukankah saya orang Kristen, jadi harus
menerimanya?’), akibatnya akan tampak setelah mereka menikah. Ia tidak akan
menghargai dan memiliki respek terhadap istrinya. Ia akan menggunakan masa
lampau istrinya sebagai senjata untuk ‘mengalahkan’ istrinya.
Lebih baik tidak usah menikah, daripada menikah tapi
tidak dihargai. Pernikahan seperti ini kemungkinan besar akan diracuni oleh
perbuatan dosa masa lalu itu. Akibatnya mereka tidak saling mempercayai secara
penuh dan ada rasa cemburu. Apabila mereka bertengkar, dosa masa lampau itu
juga akan mewarnai dan mempertajam perselisihan itu.
Dalam situasi pernikahan yang parah seperti ini,
mereka sangat memerlukan konseling yang dalam. Mereka patut meminta ampun untuk
dosa-dosa mereka kepada ALLAH dan pada partnernya. Mereka perlu saling
mengampuni, melupakan dosa itu dan menerimanya partnernya sebagaimana adanya.
Mereka membutuhkan kasih Ilahi yang dewasa. Tentunya tidak semua pernikahan
yang dimulai dengan dosa persetubuhan sebelum menikah berakhir seperti ini,
tapi sangat lebih baik mencegah hal-hal tersebut di atas, supaya muda-mudi itu
memasuki pernikahan dengan hati yang cerah dan kasih yang tidak dicemari
ketidakpercayaan dan perasaan suci.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar