JAWAB : (Kategori : Salah
memahami cara Allah bekerja dalam sejarah dan salah memahami penggunaan bahasa
Ibrani)
Ini adalah bahasa antropomorfis (perbuatan
Allah dibahasakan dengan bahasa atau kata-kata yang dimengerti manusia).
Apa yang dituduhkan sebagai kontradiksi timbul dari "terjemahan lama"
naskah Alkitab ke dalam bahasa Inggris juga bahasa Indonesia. Karena itu maka
jalan keluarnya diambil dengan melihat pada konteks dan peristiwa yang terjadi.
Tim penerjemah Alkitab, KJV,
misalnya menterjemahkan kata Ibrani 'NAKHAM' sebanyak 41 kali sebagai
"menyesal", diantara 108 kata 'NAKHAM' yang bermakna lain dalam
Alkitab bahasa asli Ibrani. Kita tahu bahwa para penterjemah pada saat itu
bekerja dengan jumlah salinan naskah Asli yang lebih sedikit daripada yang
tersedia saat ini. Penemuan naskah-naskah yang lebih tua serta benda-benda
arkeologis di sepanjang abad terakhir memberikan akses kepada pemahaman kata
dalam bahasa asli Alkitab Ibrani yang lebih akurat.
Oleh karena itu, kebanyakan
para penterjemah sekarang lebih akurat dalam menterjemahkan kata 'NAKHAM' yang
(dipermasalahkan dalam kontradiksi ini) dengan makna : sikap melunak, bersedih, menyatakan rasa simpati,
menghibur, menyesal, bertobat, dll. Sesuai dengan
konteks yang dibicarakan. Dibawah ini penjelasan secara detail tentang makna
'NAKHAM', semoga Anda semua memahami kata tersebut juga penyesuaian dengan
konteks ayat yang dibicarakan.
LAI TB, Allah bukanlah
manusia, sehingga Ia berdusta bukan anak manusia, sehingga Ia menyesal. Masakan Ia berfirman
dan tidak melakukannya, atau berbicara dan tidak menepatinya?" KJV, God is
not a man, that he should lie; neither the son of man, that he should repent: hath he said, and shall
he not do it? or hath he spoken, and shall he not make it good?
NIV, God is not a man, that he should lie, nor a son of man,
that he should change his mind (VEYITNEKHAM). Does he speak and then not act? Does he promise and not
fulfill?
Bilangan 23:18-20 adalah firman Tuhan yang diberikan dalam
bentuk sajak dalam suatu irama 3:3, yang mengumumkan bahwa Allah bukanlah
manusia, sehingga Ia berdusta atau menyesal. Telah menjadi kehendak-Nya untuk
memberkati umat-Nya.
Bahwa Tuhan Tidak Berubah atau Tetap Sama, hal itu tidak
berarti, bahwa Ia tidak bergerak, seperti gunung atau batu yang mati. Allah tidak
berubah atau tetap sama justru di dalam firman dan karya- Nya, supaya menjadi
sekutu umat-Nya. Bahwa Tuhan tidak berubah atau tetap sama, berarti bahwa Ia
tidak akan melepaskan umat-Nya yang telah menjadi sekutu-Nya itu, sekalipun
umat-Nya sering mengubah sikapnya terhadap Tuhannya. Hal ini disebabkan karena
Allah terharu terhadap nasib sekutu-Nya. Bahwa Allah tidak berubah atau tetap
sama ada hubungannya yang erat sekali dengan kesetiaan- Nya. Dalam hakekat
Allah yang diungkapkan dalam keadaan-Nya yang tidak berubah atau yang tetap
sama justru terkandung banyak gerak dan perbuatan. Sebab justru karena Allah
tidak berubah atau tetap sama, maka Ia harus bekerja guna menyingkirkan segala
sesuatu yang merintangi kesetiaan-Nya terhadap maksud-Nya untuk menjadi sekutu
umat-Nya.
Di dalam terang inilah kita harus melihat hal sesal Allah yang
sering diungkapkan di dalam Alkitab. 1 Samuel
15:29,
LAI TB,"Lagi Sang Mulia
dari Israel tidak berdusta dan Ia tidak tahu menyesal; sebab Ia bukan manusia yang harus menyesal. KJV, And also the
Strength of Israel will not lie nor repent: for he is not a man, that he should repent.
NIV, He who is the Glory of Israel does not lie or change his mind; for he is not a
man, that he should change his mind." Teks Masoretik, VEGAM NETSAKH YISRA'EL LO' YESYAQER VELO' YINAKHEM KI LO' 'ADAM HU' LEHINAKHEM
Ayat di atas umpamanya
disebutkan, bahwa Yang Mulia (harfiah Yang
Kuat atau
Kekuatan) dari Israel tidak berdusta dan IA TIDAK
TAHU MENYESAL, sebab Ia bukan manusia yang harus menyesal. Firman ini diucapkan
oleh Samuel kepada raja Saul, ketika raja Saul kembali dari memerangi bangsa
Amalek. Di dalam memerangi bangsa Amalek itu raja Saul makin menampakkan
kekerasan hatinya, dengan secara terang-terangan melanggar perintah Allah. Raja
Saul menawan raja Amalek dan merampas lembu-lembu bangsa Amalek dengan alasan
akan dipersembahkan kepada Allah.
Padahal Allah dengan tegas
memerintahkan supaya Saul menumpas segala orang Amalek dengan segala
harta-bendanya. Sebagai raja yang mewakili umat Allah, Saul harus menampakkan
ketaatannya yang sebesar-besarnya kepada Tuhan. Dengan perbuatannya itu raja
Saul membahayakan kedudukan umat Israel sebagai sekutu Allah. Oleh karena Allah
telah sekali berfirman, bahwa Ia menjadi sekutu Israel, maka Ia tidak akan
berubah dari putusan-Nya itu. Ia memegang teguh kepada apa yang telah
direncanakan. Tiada seorangpun yang boleh mengeraskan hatinya guna meniadakan
atau menggagalkan rencana Allah itu. Karena Saul berbuat demikian (akan
menggagalkan kedudukan Allah sebagai sekutu umat-Nya) maka ia ditolak oleh
Tuhan. Tuhan mengambil kerajaan dari tangan Saul, dan akan memberikannya kepada
orang lain. Sekalipun Allah sendiri yang telah memanggil Saul untuk menjadi
raja, akan tetapi karena Saul akan merusak rencana Allah, Tuhan menarik kembali
keputusan-Nya yang telah diambil terhadap Saul dengan alasan bahwa Saul
membahayakan rencana Allah yang mengenai umat-Nya.
Perubahan sikap Allah
terhadap Saul adalah reaksi Allah yang penuh emosi terhadap perbuatan manusia.
Allah disakitkan hati-Nya, sehingga harus menarik kembali keputusan-Nya yang
semula yang mengenai Saul. Oleh karena Tuhan
tidak tahu menyesal, artinya: tidak pernah
menyesali keputusan-Nya untuk menjadi sekutu Israel, maka Tuhan menyesalkan perbuatan Saul
yang membahayakan keputusan Allah yang pokok tadi.
Demikianlah Allah bukanlah Allah yang dingin, yang tidak
pernah tergerak hati-Nya. Ia bereaksi terhadap perbuatan untuk-Nya. Firman dan
karya-Nya adalah nyata dalam sejarah. Ia benar-benar turut menghayati kehidupan
umat-Nya. Ia dapat berubah setiap waktu, artinya: Ia dapat mengubah setiap saat
sikap-Nya terhadap umat-Nya, justru karena Ia tidak tahu menyesal, artinya:
justru karena Ia tidak menyesal menjadi sekutu umat-Nya.
Alkitab LAI TB,
"maka menyesallah TUHAN, bahwa Ia
telah menjadikan manusia di bumi, dan hal itu memilukan hati-Nya."
Teks Masoretik, VAYINAKHEM {dan Dia menyesal} YEHOVAH {TUHAN} KI-'ASAH
{karena Dia menjadikan} 'ET-HA'ADAM {manusia itu} BA'ARETS {di bumi}
VAYIT'ATSEV {dan memilukan} 'EL-LIBO {hati-Nya}
KJV, And it repented the LORD that he had
made man on the earth, and it grieved him at his heart.
NIV,
The LORD was grieved that he had made man on the earth, and his heart was filled
with pain.
Di dalam terang inilah
Kejadian 6:6 di atas harus ditinjau. Di situ disebutkan, bahwa TUHAN MENYESAL,
bahwa Ia telah menjadikan manusia di bumi, dan bahwa hal itu memilukan
hati-Nya.
Bahwa Allah menyesal di
sini ditujukan kepada perbuatan manusia yang membahayakan rencana Allah,
menyelamatkan dunia ini. Manusia pada zaman Nuh membahayakan rencana Allah
untuk menjadi sekutu manusia, yaitu dengan berbuat dosa yang menyolok sekali.
Perbuatan mereka sama dengan perbuatan raja Saul. Oleh karena Allah setia
kepada rencana-Nya, artinya oleh karena Ia tetap sama atau tidak berubah
terhadap rencana-Nya; maka Ia MENYESALKAN PERBUATAN MANUSIA pada zaman Nuh itu.
Demikianlah gagasan yang
terkandung di dalam 1 Samuel 15:29 itu sebenarnya sama dengan gagasan yang
terkandung di dalam Kejadian 6:6, sekalipun pengungkapannya berbeda. Keduanya
menunjukkan, bahwa Allah tidak menyesal bahwa Ia menjadi sekutu umat-Nya atau
menjadi sekutu manusia, dan oleh karenanya Allah menyesalkan perbuatan manusia
yang membahayakan maksud-Nya yang mulia itu.
Ayat yang senada dengan ayat-ayat
yang telah kita bicarakan, contohnya Keluaran 32:13-14, yang menyebutkan bahwa
TUHAN menyesal karena malapetaka yang dirancangkan-Nya atas umat-Nya; Yunus 4:2
menyebutkan, bahwa Allah adalah Allah yang pengasih dan penyayang, yang panjang
sabar dan berlimpah kasih setia serta yang menyesal karena malapetaka yang
hendak didatangkan-Nya; Ibrani 13:8 menyebutkan, bahwa Yesus Kristus tetap
sama, baik kemarin maupun hari ini dan sampai selama-lamanya. Akan tetapi
ayat-ayat ini tidak akan dibahas.
Mengenai hakekat Allah yang
diungkapkan dalam keadaan- Nya yang tidak berubah atau yang tetap sama, dapat
disimpulkan demikian, bahwa Allah di dalam segala perubahan sikap-Nya itu
adalah Allah yang tetap setia kepada diri-Nya sendiri. Bahwa Ia setia kepada
diri-Nya sendiri, ini dapat diungkapkan dengan pengalimatan, bahwa Ia tidak
menyesal, atau bahwa Ia menyesal, atau bahwa Ia tidak
berubah, atau bahwa Ia meninjau kembali keputusan-Nya. Jika Allah disebut Yang
Tidak Berubah atau Yang Tidak Menyesal, hal itu
diterapkan kepada keputusan-Nya untuk menjadi sekutu umat-Nya, sedang jika
disebutkan, bahwa Allah adalah Yang Berubah atau Yang Menyesal hal itu ditetapkan kepada sikap umat-Nya yang membahayakan
keputusan Allah untuk menjadi sekutu umat-Nya tadi.
Di dalam Alkitab hubungan
Allah dengan manusia terjadi di dalam kejadian-kejadian yang nyata dalam
sejarah. Di sepanjang sejarah Allah membuktikan dengan firman dan karya-Nya,
bahwa Ia tetap sama, bahwa Ia Tidak Berubah, bahwa pada-Nya tidak ada
perubahan, di dalam menjadi sekutu umat-Nya. Ia
setia kepada keputusan itu sampai selama-lamanya. Jelaslah bahwa kesetiaan
Allah terhadap diri-Nya sendiri dan terhadap rencana-Nya adalah kekal
selama-lamanya. Agar Allah dapat setia kepada diri-Nya dan kepada maksud-Nya,
sering Ia harus mengubah jalan-Nya demi keselamatan umat-Nya yang sering tidak
setia itu.
Berdasarkan hal itu semuanya, hakekat Allah yang diungkapkan
dalam keadaan-Nya yang tidak berubah itu barangkali lebih tepat dikalimatkan
dengan ungkapan keteguhan-Nya atau bahwa Allah dapat
dipercaya.
Dalam teologi (ilmu tentang
Allah) ada istilah yang disebut "anthropomorphisme" yang berasal dari
kata 'anthropos' (manusia) dan 'morphe' (bentuk, wujud), jadi bermakna
mengambil bentuk atau wujud manusia.
Allah yang tidak terbatas
itu tidak dapat dipahami oleh akal manusia yang terbatas, namun Allah dapat
dikenal oleh manusia karena Dia berkenan menyatakan diri-Nya kepada manusia
lewat para nabi dan tertulis pula di Alkitab. Untuk mempermudah pengenalan akan
Allah yang tidak terbatas, maka digunakanlah bentuk bentuk yang lazim pada
manusia, yang disebut "anthropomorphisme", misalnya:
Allah mendengar, apakah Allah memiliki telinga? Allah melihat,
apakah Allah memiliki mata? Allah berjalan, apakah Allah memiliki kaki?
Hal yang sama juga
digunakan dalam ungkapan Allah "menyesal", berarti ada sesuatu dalam
perasaan Allah yang tidak sesuai dengan kehendak-Nya. Menjawab pertanyaan
tentang Allah "menyesal" itu tidak sulit, asal kita dapat menjawab
dua pertanyaan di bawah ini:
[1]
Bagaimana
perasaan Allah jika manusia menuruti firman-Nya? Senang, gembira, sukacita,
tertawa? Jawaban atas pertanyaan ini saya masukkan ke dalam kategori perasaan
Allah yang "positif".
[2]
Bagaimana
perasaan Allah jika manusia melanggar firman-Nya? Marah, murka, menyesal, pilu,
sedih, menangis? Jawaban atas pertanyaan ini termasuk kategori perasaan Allah
yang "negatif".
Jawaban atas kedua pertanyaan di atas sebenarnya lebih tepat
ditujukan kepada manusia, namun dapat pula digunakan kepada Allah, tentu saja
sebatas pengetahuan manusia karena kita tidak bakal dapat memahami perasaan
Allah yang sebenarnya.
Kata "menyesal"
yang diterjemahkan dari kata Ibrani 'NAKHAM' yang secara konseptual bermakna tidak sesuai dengan yang dikehendaki sehingga memerlukan
penghiburan, hal-hal yang tidak memuaskan hati.
Bandingkan dengan nama "Nuh" dalam Kejadian 5:29 dan bandingkan pula
Ishak "dihiburkan" ('NAKHAM') oleh istrinya atas kematian ibunya
(Kejadian 24:67), atau Yakub menolak "dihiburkan" ('nakham') atas
kematian Yusuf (Kejadian 37:35). Jelas adalah hal-hal yang tidak sesuai dengan
kehendak sehingga memerlukan pemakaian kata 'nakham' di situ.
Jadi, ungkapan Allah "menyesal" itu sebenarnya
menggambarkan adanya suatu perasaan "negatif" di dalam diri Allah.
"Berfirmanlah TUHAN: 'Aku akan menghapuskan manusia yang
telah Kuciptakan itu dari muka bumi, baik manusia maupun hewan dan
binatang-binatang melata dan burung-burung di udara, sebab Aku menyesal, bahwa
Aku telah menjadikan mereka.'" Teks
Masoretik, "VAYO'MER {dan Dia berfirman}
YEHOVAH {TUHAN} 'EMKHEH {Aku akan membinasakan} 'ET-HA'ADAM {manusia itu}
'ASYER-BARA'TI {yang Aku sudah menciptakan} ME'AL {dari atas} PENEY {muka}
HA'ADAMAH {tanah itu} ME'ADAM {dari manusia} 'AD-BEHEMAH {hingga ternak} 'AD-
REMES {hingga yang melata} VE'AD-'OF {dan hingga unggas} HASYAMAYIM {langit
itu} KINIKHAMTI {karena Aku menyesal} KI {karena} 'ASITIM {Aku menjadikan
mereka}" KJV, "And the LORD said, I will destroy man whom I have
created from the face of the earth; both man, and beast, and the creeping
thing, and the fowls of the air; for it repenteth
me that I have made them." NIV, "So the
LORD said, 'I will wipe mankind, whom I have created, from the face of the
earth -- men and animals, and creatures that move along the ground, and birds
of the air -- for I am grieved that I have made them.'"
KJV menerjemahkannya 'it
repenteth me' dan NIV menerjemahkannya 'I am grieved'. Kata
"menyesal" yang diterjemahkan dari kata Ibrani 'NAkHAM' mengandung banyak makna misalnya "Anak ini akan memberi
kepada kita penghiburan ('nakham')" (Kejadian 5:29); "Ishak
mencintainya dan demikian ia dihiburkan {'nakham') setelah ibunya
meninggal." (Kejadian 24:67); "Sekalian anaknya laki-laki dan
perempuan berusaha menghiburkan ('NAKHAM') dia, tetapi ia menolak dihiburkan
('NAKHAM')" (Kejadian 37:35).
Kata 'repent' dalam bahasa Inggris
berarti 'think with regret or sorrow of; be full of regret (about); wish one
had not done. Sedangkan 'grieve' dari 'grief adalah 'deep or violent sorrow'.
Jadi dari beberapa contoh
di atas, barangkali kata "menyesal" itu dapat diterjemahkan dengan pengertian yang lebih tepat, "apa yang dikehendaki oleh Allah ternyata tidak
terlaksana, hal itu tidak menyenangkan dan menghibur-NYA." Allah tidak menghendaki siapa pun berbuat dosa, namun tatkala
manusia berbuat dosa maka DIA menjadi "NAKHAM".
Jadi tidak ada pertentangan jika kita memahami makna
"NAKHAM" dan konteks yang sedang dibicarakan. Pertanyaannya adalah
"Apakah Allah menyesal?" Jawabannya
"Tidak, Allah tidak pernah menyesal (dalam artian berubah pikiran-Nya
karena kecewa)". Demikianlah Allah bukanlah Allah yang dingin, yang tidak
pernah tergerak hati-Nya. Allah bukan 'seonggok batu' yang tidak pernah
tersentuh hati-Nya. Namun ia selalu menanggapi situasi dan perilaku setiap
anak-anak-Nya dengan penuh kasih atau dengan murka, sehingga Ia akan menjadi
sedih dan geram ketika manusia berbuat jahat, atau berpaling dari-Nya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar